Jumat, 01 Agustus 2008

Eksistensi, Visi, dan Keputusan

Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan saya sebelumnya mengenai kehidupan dan penghidupan. Menurut saya topik ini cukup menarik untuk ditulis karena pada saat “perkuliahan” ini berlangsung tidak segores pena pun dapat saya coretkan pada buku catatan yang terbawa pada saat itu. Meskipun kejadiannya sendiri sudah lewat hampir setahun yang lalu, namun masih membekas secara emosional mengenai apa itu eksis, visi, dan keputusan.

Eksistensi

Eksistensi berawal dari kata dasar eksis, yang secara harfiah berarti ada atau keberadaan. Sebagai makhluk sosial manusia secara individu berkomuni dalam jaringan sosialnya. Jaringan itu bisa berbentuk komunitas, grup, perusahaan, partai, atau apapun itu namanya yang merupakan sekumpulan individu yang masing-masingnya unik. Sebagai bagian dari jaringan tersebut, keberadaan (baca: eksistensi) seseorang mutlak dibutuhkan agar komponen jaringan lainnya menyadari keberadaan suatu individu. Permasalahannya bukan bagaimana cara untuk eksis , tapi lebih ke seberapa bergunanya kita terhadap lingkungan sehingga cukup menyadari keberadaan kita.

Visi

Tahapan selanjutnya setelah eksis adalah visi. Berkaitan dengan eksistensi, visi akan tercermin atau bisa jadi mencerminkan eksistensinya. Salah satu cara agar bisa dikatakan eksis adalah dengan berkomunikasi dengan mengeluarkan pernyataan dan pertanyaan, sehingga individu dan lingkungan sekitar dapat melihat visi apa dari pernyataan dan pertanyaan tersebut. Visi terhadap suatu solusi dari suatu permasalahan yang memungkinkan untuk diimplementasikan akan berharga dan bermanfaat bagi lingkungan dan system. Visi membawa individu lebih dari sekedar menjadi eksis, dan membuat keberadaan nya lebih berada (baca: bernilai). Sejauh ini kedua unsur (eksistensi dan visi) saling berkaitan dan saling menguatkan.

Keputusan

Terakhir tapi bukan yang paling akhir, adalah keputusan (decision). Bagian ini merupakan bagaimana sebuah keputusan diambil sebagai hasil kristalisasi eksitensi dan visi. Pada akhirnya keputusan yang diambil merupakan karena suatu pilihan bukan karena suatu keharusan. Seringkali terdengar dan terlihat sulit ketika sudah dihadapkan dengan pengambilan keputusan. Keputusan yang terbaik adalah pilihan yang berdasarkan pada suara hati (hati nurani, atau apapun istilahnya), karena suara tersebut sudah built-in sejak setiap individu diciptakan dari sumber yang SATU. Suaranya bisa jadi selama ini tidak terdengar tapi yang terjadi sebenarnya adalah terabaikan, permasalahannya seberapa jernih kita bisa dan mau mendengarkan NYA. Bisa saja terdengar sangat jernih atau banyak derau yang menghalanginya tergantung seberapa besar kita buat penghalang  yang menghalanginya.

Kesimpulan sementara yang bisa saya ambil mengenai wacana ini adalah bahwa ketiga unsur tersebut (eksistensi, visi dan keputusan) merupakan tiga komponen manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain dan akan saling menguatkan. Mereka terhubung dan berkaitan sebagaimana halnya tiga titik yang membentuk lingkaran, dan terus bergerak maju seiring perjalanan waktu akan saling menguatkan satu sama lain. Dalam bayangan saya ketiga unsur tersebut berbentuk seperti spiral;  terlihat seperti lingkaran dari depan dan belakang, terlihat seperti garis-garis yang saling berhubungan dari sisi samping, dengan demikian jika dilihat secara tiga dimensi akan terlihat seperti spiral. Kalaupun jadinya lingkaran-lingkaran itu melemah adalah hal yang wajar sebagaimana manusia merupakan ciptaan yang bisa berbuat salah namun bisa belajar untuk kembali menguatkannya. Menjadi sempurna bukanlah suatu tujuan, tapi seberapa besar usaha kita untuk memperbaiki ketidaksempurnaan dan belajar dari masa lalu serta mensyukuri apa yang diberikan saat ini sehingga membuat kita cukup optimis dalam menghadapi hari esok yang tetap merupakan misteri.

Apa yang tertulis diatas merupakan opini saya mengenai eksistensi, visi, dan keputusan dalam perspektif saya. Bagi orang-orang yang membacanya dan mungkin tidak sependapat dengan hal tersebut adalah hal yang wajar, sebagaimana perbedaan merupakan “hadiah” yang diberikan Nya kepada kita, sehingga kita semakin bersyukur dan menyadari betapa spesialnya kita sebagai makhluk ciptaan NYA. Kita bisa dikatakan eksis karena cara kita berkomunikasi, dengan demikian visi akan terlihat, hingga pada akhirnya keputusan yang dipilih pun akan bernilai dan akan dihargai.

1 komentar:

extranyos mengatakan...

pertamax! hehehe...

cool, life is beautifulll 100% agree with you...